Minggu, 22 Juli 2018

5 Peraturan Dasar Soal Napi dan Tahanan di Penjara Indonesia






Lagi-lagi berita buruk tentang Lapas kembali mencuat. Kali ini kaburnya Napi wanita di Lapas Wanita Kelas II A Sukamiskin, Bandung. Hebatnya napi yang kabarnya sebentar lagi bebas tersebut kabur saat proses asimilasi di rumah dinas Kepala Lapas. Melani, nama napi tersebut merupakan narapidana berstatus tahanan pendamping (tamping) yaitu napi yang dipekerjakan oleh petugas lapas.

Pengertian asimilasi sendiri adalah proses pembinaan Narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan Narapidana dalam kehidupan masyarakat (Psl. 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat).


Waktu dipenjara saya sendiri adalah seorang tamping (kalau di Rutan Bandung biasa disebut Korve). Saya dipercaya sebagai tamping Kepala Rutan, namun sampai bebas saya tidak mendapat asimilasi namun hanya bertugas bersih-bersih ruangan Karutan dan melayani Karutan sehari-hari. Di Rutan Bandung hanya Korve Sampah yang boleh ke luar rutan.
Hal ini tentu kembali mencoreng wajah Pemasyarakatan yang tanggal 27 April kemarin diperingati sebagai Hari Bhakti Pemasyarakatan. Berdasarkan tulisan diatas admin akan mengangkat hal-hal yang perlu anda ketahui soal pemasyarakatan dan narapidana yang tentunya sudah diatur dalam beberapa ketentuan. Meski pada prakteknya berdasarkan pengalaman admin masih banyak permasalahan dan kekurangan di sana sini.1. Narapidana Tidak Boleh Ditempatkan di Rutan

Mungkin banyak ada yang belum tahu bedanya rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas/ LP). Berdasarkan peraturan, rutan adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Sedangkan lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.


Intinya, RUTAN merupakan tempat menahan tersangka atau terdakwa untuk sementara waktu sebelum keluarnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sementara, LAPAS merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.

Mudahnya, rutan adalah tempat untuk menahan orang sebelum ia divonis bersalah oleh pengadilan. Sedangkan orang-orang yang sudah mendapat vonis bersalah dari pengadilan ditempatkan di lapas.



Dengan pengertian seperti itu, dapat disimpulkan bahwa orang yang telah divonis bersalah oleh pengadilan (narapidana) harus menjalankan hukumannya di lapas gan. Bukan di rutan.
Berdasarkan penjelasan singkat di atas, seorang narapidana harus ditempatkan di dalam LAPAS untuk mendapatkan pembinaan, tetapi pada kenyataannya karena keterbatasan kapasitas RUTAN di Indonesia membuat fungsi LAPAS berubah menjadi RUTAN. Beberapa LAPAS yang seharusnya menjadi tempat membina narapidana tersebut digunakan untuk menahan tersangka atau terdakwa.Perubahan fungsi ini didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara. Pada Lampiran Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut terdapat daftar LAPAS yang juga dapat menjadi RUTAN.


Berkaitan dengan pertanyaan “seorang terpidana yang seharusnya berada dalam LAPAS boleh ditempatkan di rumah tahanan”, pada Pasal 2 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.: M.01-PK.02.01 Tahun 1991 tentang Pemindahan Narapidana Anak Didik dan Tahanandisebutkan:


Pemindahan narapidana, anak didik dan tahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat dilakukan:

Di dalam suatu wilayah hukum Kantor Wilayah Departemen Kehakiman, atau
antar wilayah hukum Kantor Wilayah Departemen Kehakiman.




2. Hak Narapidana yang Tak Boleh Ditelantarkan
Baik tahanan dan narapidana, masing-masing memiliki hak yang tidak boleh ditelantarkan.


Narapidana, yaitu terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas, mempunyai hak-hak sebagai berikut: (lihat Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (“UU Pemasyarakatan”)
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan
m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



3. Pemberian Makanan Untuk Tahanan dan Narapidana
Pada dasarnya baik tahanan maupun narapidana mempunyai hak untuk mendapatkan makanan. Narapidana, berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf d UU Pemasyarakatan, berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. Dalam peraturan pelaksanaannya, setiap narapidana dan anak didik pemasyarakatan berhak mendapatkan makanan dan minuman sesuai dengan jumlah kalori yang memenuhi syarat kesehatan.


Tak hanya itu, setiap tahanan berhak mendapatkan makanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan


Petugas rutan bertanggung jawab untuk memenuhi kebersihan makanan dan dipenuhinya syarat-syarat kesehatan makanan dan gizi; pengadaan, penyimpanan, dan penyiapan makanan; danpemeliharaan peralatan makanan dan peralatan masak.


Jadi pada dasarnya, baik tahanan dan narapidana berhak untuk mendapatkan makanan yang layak dan petugas RUTAN maupun lembaga pemasyarakatan berkewajiban untuk memberikan makanan yang layak kepada tahanan maupun narapidana.





Narapidana, berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf d UU 12/1995, berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. Hak narapidana atas makanan yang layak diatur lebih lanjut dalamPeraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatansebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (“PP 32/1999”). Dalam Pasal 19 ayat (1) PP 32/1999, dikatakan bahwa setiap narapidana dan anak didik pemasyarakatan berhak mendapatkan makanan dan minuman sesuai dengan jumlah kalori yang memenuhi syarat kesehatan.


Bahkan dalam Pasal 21 ayat (1) PP 32/1999 diperjelas bahwa Kepala Lembaga Pemasyarakatan yang bertanggung jawab atas pengelolaan makanan yang meliputi:
a. pengadaan, penyimpanan, dan penyiapan makanan;
b. kebersihan makanan dan dipenuhinya syarat-syarat kesehatan dan gizi; dan
c. pemeliharaan peralatan masak, makan, dan minum.


Sedangkan mengenai hak tahanan di rumah tahanan negara (“RUTAN”), dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan (“PP 58/1999”). Dalam Pasal 28 ayat (1) PP 58/1999 dikatakan bahwa setiap tahanan berhak mendapatkan makanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku


Petugas RUTAN/Cabang RUTAN atau Lembaga Pemasyarakatan/Cabang Lembaga Pemasyarakatanyang mengelola makanan bertanggung jawab atas: (lihat Pasal 29 ayat (1) PP 58/1999)
a. kebersihan makanan dan dipenuhinya syarat-syarat kesehatan makanan dan gizi;
b. pengadaan, penyimpanan, dan penyiapan makanan; dan
c. pemeliharaan peralatan makanan dan peralatan masak.


Jadi pada dasarnya, baik tahanan dan narapidana berhak untuk mendapatkan makanan yang layak dan petugas RUTAN maupun lembaga pemasyarakatan berkewajiban untuk memberikan makanan yang layak kepada tahanan maupun narapidana.



4. Hak yang Tidak Didapatkan Narapidana Seumur Hidup
Sama seperti terpidana lainnya yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), narapidana seumur hidup juga memiliki hak-hak sebagaimana diatur dalam hak-hak narapidana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.


Namun, dalam peraturan yang lebih khusus, bagi narapidana seumur hidup ada dua hak yang tidak akan mereka dapatkan yakni cuti mengunjungi keluarga dan asimilasi (proses pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan dalam kehidupan masyarakat).




Lalu bagaimana dengan hak atau pembinaan bagi narapidana seumur hidup itu?


Dari sejumlah hak yang diberikan kepada warga binaan Lapas yang telah kami sebutkan, ada hak yangtidak dapat diberikan kepada narapidana seumur hidup, yakni cuti mengunjungi keluarga. Hal ini disebut dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat (“Permenkumham 21/2013”) yang mengatur bahwa cuti mengunjungi keluarga tidak dapat diberikan kepada narapidana yang dipidana hukuman seumur hidup.


Selain hak cuti mengunjungi keluarga, hal lain yang tidak diberikan kepada narapidana seumur hidup yakni asimiliasi. Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan dalam kehidupan masyarakat. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 2 Permenkumham 21/2013.


Ketentuan yang mengatur bahwa narapidana seumur hidup tidak diberikan asimilasi adalah Pasal 33 Permenkumham 21/2013 yang berbunyi:
“Asimilasi tidak diberikan kepada Narapidana:
a. yang terancam jiwanya; atau
b. yang sedang menjalani pidana penjara seumur hidup.”



5. Terpidana Anak Pindah ke Lapas Dewasa
Sejak terbit Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, istilah lembaga pemasyarakatan anak (Lapas Anak) udah gak dikenal, Gan dan harus berubah menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (“LPKA”). Kalau di dalam suatu daerah belum terdapat LPKA, anak dapat ditempatkan di Lapas dewasa tapi penempatannya terpisah dari orang dewasa.


Tapi, anak dijatuhi pidana penjara di LPKA hanya apabila keadaan dan perbuatannya akan membahayakan masyarakat dan hanya sampai umurnya 18 tahun. Apabila ia mencapai umur 18 tahun tetapi masa pidana penjaranya belum selesai, maka anak yang bersangkutan dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Anak dapat dipindahkan ke lapas dewasa hanya ketika ia telah mencapai umur 21 tahun, itupun dengan memperhatikan kesinambungan pembinaan anak.


Sumber: Hukumonline dan Kaskus


Sekian update artikel informasi kali ini seputar Kehidupan di Penjara. Semoga bermanfaat dan dapat menjadi referensi anda semua serta dapat menambah wawasan dan pengetahuan anda seputar Aturan Hukum Pemasyarakatan. Salam

0 komentar:

Posting Komentar