Senin, 23 Juli 2018

Deretan Kisah Mengerikan Pemerkosaan Massal Mei 1998



Jakarta, CNN Indonesia -- Dewi, nama samaran, berusia 23 tahun saat Mei 1998. Dia baru tiba dari Jakarta setelah menyelesaikan pendidikan psikologi dari sebuah universitas di Inggris. Dewi pulang ke tanah air sembari membawa rencana pernikahan dengan kekasihnya.

Malang tak terduga. Sepekan setelah peristiwa penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti, saat Dewi bepergian dengan taksi seorang diri, tiba-tiba dua-tiga orang masuk ke dalam taksi yang ditumpanginya. Kala itu taksi berhenti di bawah jembatan Semanggi.

Dengan ancaman akan dibunuh, Dewi diperkosa bergantian oleh para pria berbadan tegap. Peristiwa bejat itu terjadi di dalam taksi yang melaju mengelilingi Jakarta selama sembilan jam.


Para pemerkosa kemudian meninggalkan Dewi di pinggir jalan. Sebelum pergi, mereka memintanya tutup mulut.

“Mereka mengancam apabila korban membongkar cerita, seluruh keluarganya akan dibunuh dan dibakar,” kata Sandyawan Sumardi yang ketika itu menjabat Sekretaris Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) kepada CNNIndonesia.com, Senin (16/5).


Seorang sopir taksi lain lalu menemukan Dewi di pinggir jalan, dan mengantarkannya pulang ke rumah. Orangtua Dewi menceritakan pengalaman tragis sang putri kepada Sandyawan.

Sejak peristiwa itu, Dewi empat kali berniat bunuh diri. Dia pun bungkam seribu bahasa.

“Selama saya mengunjunginya tiga kali, dia belum bersedia berbicara,” kata Sandyawan.

Ketika masih mendampingi Dewi itu, Sandyawan mendapat kabar tentang perempuan lain yang jadi korban pemerkosaan.

Putri, bukan nama sebenarnya, seorang mahasiswa Universitas Tarumanegara, hampir mati akibat pendarahan di alat kelaminnya.

Sekitar akhir Mei 1998, Putri yang tinggal di rumah kos di daerah Sunter, Jakarta Utara, didatangi dua pria. Kedua pria itu hendak memerkosanya. Putri sekuat tenaga melawan.

Salah satu pria yang menyerang Putri hendak menggunakan besi gorden untuk menusuk perutnya, dan meleset mengenai alat kelaminnya.

“Dokter Lie Darmawan yang menangani Putri. Meski kritis, Putri akhirnya selamat,” kata Sandyawan.








Selain Dewi dan Putri, Sandyawan bertemu empat perempuan lain yang menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual pada Mei 1998. Kisah keenam korban itu dia buka saat menjadi anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).

Selain Sandyawan, ada tokoh-tokoh lain yang memberikan kesaksian tentang pemerkosaan massal dan kekerasan seksual selama Mei 1998. Para pemberi kesaksian itu adalah korban, keluarga korban, saksi, dokter dan pendamping (konselor). Menurut data para pemberi kesaksian kepada TGPF, terdapat 85 kasus kekerasan seksual dengan 52 di antaranya merupakan pemerkosaan dalam bentuk gang rape.

Seorang saksi lain menuturkan kepada TGPF mengenai pemerkosaan yang dilihatnya pada 14 Mei 1998 di Muara Angke, Jakarta Utara.

Sekitar jam 11.30, saya melihat beberapa orang mencegat mobil dan memaksa penumpang turun, kemudian menarik dua gadis keluar dari mobil.

Mereka melucuti pakaian dua perempuan itu dan memerkosanya beramai-ramai. Kedua perempuan itu mencoba melawan, namun sia-sia. 


Setelah dua gadis itu berhasil melepaskan diri dari orang-orang biadab itu, saya mendekati dan mendekapnya. Saya kemudian membantunya mencarikan jalan aman untuk pulang. Karena saya tinggal di daerah itu, saya hafal jalan pintas menuju jalan raya.

Sesampai di perempatan Cengkareng, saya melihat beberapa mayat perempuan dalam keadaan telanjang dengan muka ditutup koran. Perempuan-perempuan itu tampak telah diperkosa, karena dari vagina mereka terlihat leleran darah yang mengering dan dikerubungi lalat.

Setelah menolong dua perempuan itu, saya pulang melewati jalan yang sama. Ketika saya sampai di perempatan Cengkareng, mayat-mayat perempuan sudah tidak ada lagi. Ke mana mayat-mayat itu? Siapa yang membawa mereka?

Bungkam

Mantan Koordinator TRK Divisi Kekerasan terhadap Perempuan, Ita Fatia Nadia, data versi TPGF yang mencatat 85 korban kekerasan seksual, belum mencerminkan jumlah pemerkosaan dan kekerasan seksual sesungguhnya yang terjadi selama Mei 1998.

Begitu juga dengan data Tim Relawan untuk Kemanusiaan Divisi Kekerasan Perempuan yang menyebutkan korban pemerkosaan pada Mei 1998 sebanyak 152 orang dengan 20 orang di antaranya meninggal dunia.

“Jumlahnya bisa lebih besar dari itu karena banyak korban memilih diam,” kata Ita.

Penderitaan amat berat yang dialami korban membuat sebagian dari mereka memilih bungkam. Ada korban yang memilih mengubah identitas dan bermigrasi ke luar negeri.

Menurut Ita, salah satu korban yang dia kenal memilih tinggal di Amerika Serikat. Korban itu bersama kawannya mengalami penganiayaan. Payudaranya dipotong oleh segerombolan orang di Jembatan Semanggi pada Mei 1998.

Aktivis perempuan Andy Yentriyani mengatakan, alih-alih mengungkapkan apa yang terjadi, para korban yang sebagian besar beretnis Tionghoa memilih menyelamatkan diri ke luar negeri, membentuk keluarga baru, dan melupakan peristiwa yang terjadi.


Korban yang telah memiliki keluarga baru sama sekali enggan membahas lagi peristiwa tersebut. Mereka khawatir keluarga barunya akan mengetahui tragedi pahit itu. Andy tak tahu pasti berapa banyak korban yang masih bertahan di Indonesia hingga saat ini.

"Tahun 2008 ada beberapa yang bertahan di Indonesia. Tapi kalau sekarang saya kurang tahu," kata mantan Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan itu.


Negara lalai

Andy Yentriyani menyayangkan ketidakhadiran aparat penegak hukum saat peristiwa kerusuhan dan pemerkosaan selama Mei 1998. Padahal sebelum ada peristiwa penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998, pasukan pengamanan menyebar hampir di seluruh titik ibu kota. Namun dari tanggal 13 hingga 15 Mei 1998, nyaris tak ada aparat berjaga.

"Pertanyaannya, di mana pasukan tersebut? Itu penting sebagai pertanggungjawaban negara atas perlindungan rakyat," kata dia, Rabu (18/5).

Pemerintah, menurut Andy, seakan-akan tak percaya ada korban pemerkosaan dan kekerasan seksual pada Tragedi Mei 1998.

Saat ini pun pemerintah lalai dengan membiarkan laporan dari TGPF. Andy mengkritik aparat yang mensyaratkan adanya laporan korban untuk memproses kasus tersebut.

“Padahal ada trauma dan perasaan dari korban bahwa itu aib yang tidak bisa diungkapkan,” kata Andy.

Poses pengungkapan kebenaran ini pun, menurutnya, sampai sekarang dibiarkan menggantung oleh pemerintah.

"Dari data TGPF, ada indikasi kuat keterlibatan negara, baik kekerasannya maupun pembiarannya. Tapi negara lalai dan itu dibiarkan sampai sekarang," kata dia.

0 komentar:

Posting Komentar