Jumat, 20 Juli 2018

Bisnis Remang-remang Daeng Aziz Pasca-Kalijodo









iluet senja mulai menerobos celah-celah gang sempit sepanjang 500 meter di Kampung Bandengan, RT 02 RW 13, Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Belasan wanita muda berdandan menor dan berpakaian seksi sudah bersiap menyambut tamu-tamu mereka. Para pekerja seks itu duduk-duduk di jejeran kafe remang-remang yang berdiri di sepanjang gang.

Menjelang petang, lampu-lampu disko di dalam kafe, yang luasnya rata-rata hanya seukuran warteg, berpendaran, membuat kawasan lokalisasi bernama Royal tersebut makin berdenyut. Alunan musik karaoke dari pemutar compact disc (CD) sesekali beradu dengan bising kereta rel listrik (KRL) yang melintas di samping lokalisasi.

Sejumlah pria hidung belang pun satu demi satu terlihat masuk ke kafe yang dilengkapi dengan bilik-bilik asmara itu. “Abang ganteng yang baju hitam, sinigue temenin. Minum-minum dulu di sini. Capek lo kalau jalan-jalan terus,” goda seorang pramuria berusia sekitar 20 tahun kepada , saat menyusuri lokasi prostitusi itu, Rabu, 18 Juli 2018.





mendatangi tempat pelacuran di tengah permukiman padat penduduk itu untuk mencari tahu kebenaran informasi bahwa Abdul Aziz Emba alias Daeng Aziz mengalihkan bisnisnya ke Royal setelah Kalijodo diratakan dengan tanah oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Thahaja Purnama (Ahok) pada awal 2016. Ia sebelumnya adalah penguasa kafe, perjudian, dan pemasok tunggal minuman di Kalijodo. Omzetnya konon mencapai Rp 1,5 miliar per hari.

Tak lama setelah Kalijodo digusur, anak buah Daeng Aziz sempat membangun bedeng-bedeng di kolong flyover Kalijodo. Namun 'The New Kalijodo' itu kembali dirobohkan aparat Satpol PP di bawah kepemimpinan Ahok. “Dua kali itu kalau nggak salah dirobohin,” ujar Susanti, Ketua RT 12 RW 04, Kelurahan Pejagalan, Penjaringan, yang membawahi daerah Kalijodo.

Susanti juga mendengar kabar, sejak tak lagi punya tempat usaha di Kalijodo, Daeng Aziz mengincar Royal. Sebagian besar wanita penghibur eks Kalijodo pun ikut berpindah ke tempat baru itu. “Cuma dengar saja. Gimanaya, kalau biasa hidup di lembah hitam, di mana ada lembah hitam, bisa hidup mereka,” ucap Susanti.

Seorang warga Kampung Bandengan menyebut pekerja seks Kalijodo mulai membanjiri Royal setahun lalu. Jumlahnya ratusan orang. Hadirnya mereka membuat pamor Royal makin mengkilap, karena mereka masih muda-muda. Tetapi hal itu juga memicu rasa iri pekerja seks yang telah bertahun-tahun mangkal di Royal. “Kalau aslinya Royal, ‘veteran’ semua,” katanya kepada .

Warga yang menolak namanya disebutkan itu menambahkan, ‘alumni’ Kalijodo dibawa masuk ke Royal oleh Daeng Raja. Daeng Raja atau Ali adalah sepupu Daeng Aziz. Di Kalijodo, Daeng Raja mengelola Kafe Kingstar, yang menempati lantai dua sebuah bangunan milik Daeng Aziz. “Sebulan sekali dia (Daeng Raja) datang ke sini. Mungkin tangan kanan Daeng Aziz, saya kurang tahu,” katanya.










Namun Daeng Raja hanya mendirikan kafe dan menyediakan pekerja seks. Sebab, pasokan minuman sudah dimonopoli Bagas, anak buah Ong Pin. Ong Pin adalah seorang Tionghoa yang bertahun-tahun mengendalikan Royal. Setelah Ong Pin meninggal pada 2011, Bagas-lah yang dipercaya mengatur bisnis di lokalisasi berumur nyaris setengah abad itu.

lantas menemui Bagas di rumahnya yang terletak di bagian paling depan gang. Di teras rumah berlantai dua tersebut, terparkir sebuah sepeda motor Yamaha N-Max dan mobil Mitsubishi Pajero Sport. Sedangkan di samping rumah terdapat sebuah bangunan yang difungsikan sebagai gudang penyimpanan bir merek Panther.

Jangan dibayangkan Bagas bertubuh tinggi-besar dan bertampang preman. Perawakannya biasa saja, dengan batik warna cokelat melekat di badan. Yang bikin tercengang adalah gepokan uang puluhan juta rupiah yang ditentengnya malam itu, lengkap dengan nama-nama penerima di kertas pembungkus. “Ini saya lagi mau bagi-bagikan uang setoran,” ucapnya kepada .


Ketika diberi tahu bahwa yang datang adalah wartawan, ia buru-buru menyembunyikan uang itu di bawah meja. Bagas mengungkapkan, perputaran uang di Royal saban hari mencapai ratusan juta rupiah, tidak sampai miliaran rupiah seperti di Kalijodo. Namun dia menolak menyebutkan jumlah kafe yang dia kontrol di Royal.

Ia menyebut jumlah pekerja seks yang bekerja di Royal 280-300 orang. Dari jumlah itu, yang berasal dari Kalijodo dipastikan hanya 20 persen mengingat daya tampung yang terbatas. Mereka dibawa oleh empat pemain kawakan Kalijodo, yaitu Daeng Raja, Daeng Rustam, Ali, dan Han. Menurut Bagas, keempat orang itu dikenal sebagai panglima Daeng Aziz. “Daeng Aziz itu rajanya,” kata Bagas.

Daeng Aziz sendiri, dia berkisah, sempat kocar-kacir setelah Kalijodo bubar. Pria asli Jeneponto, Sulawesi Selatan, itu kabarnya membuka lahan baru di berbagai lokasi, seperti Kalimalang, Pasar Baru, dan Daan Mogot. Daeng Aziz tak pernah minta jatah tempat di Royal. Kalaupun minta, Bagas bilang tak bakal memberinya karena berbahaya.

“Umpamanya dia mau numpang usaha, kita tahu sejarah dan karakter dia dulu. Dia pelan-pelan masuk, tapi ujung-ujungnya bakal merekrut semuanya. Sedangkan orang-orang ‘pribumi’ di sini takut tersisih,” kata Bagas.





Tanpa bermaksud menjelekkan Kalijodo, Bagas melanjutkan, aturan yang berlaku bak hukum rimba. Tindakan main bunuh sudah umum dilakukan bila ada yang bikin onar di Kalijodo. Selain kafe, perjudian dan narkotika marak di Kalijodo. Terlebih para pekerja seks yang mengadu nasib di Kalijodo dijerat dengan utang di awal agar tidak melarikan diri. Jumlahnya puluhan juta rupiah. “Kalau di sini mereka freelance,” ujarnya.

Royal juga menerapkan aturan lain, misalnya tutup pada tahun baru Islam, peringatan Isra Mikraj, dan selama bulan Ramadan. Saban malam Jumat tidak boleh ada satu pun kafe yang memutar musik. Tidak hanya itu. Setiap ada warga sekitar yang meninggal dunia, Royal tutup selama tiga hari sebagai tanda ikut berduka.



Karena mau mengikuti aturan itulah, Daeng Raja dan kawan-kawan dipersilakan masuk ke Royal. Ditambah Daeng Raja tak boleh ikut memasok minuman. Di samping itu, Bagas mengaku sudah mengenal baik Daeng Raja. Setiap kali beranjangsana ke Kingstar, ia selalu disambut bak tamu agung. Ia juga punya utang budi karena pernah dibantu ketika bisnisnya sedang turun.

Namun, sekitar dua minggu lalu, di tengah-tengah kesibukannya mendaftar caleg Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan, Daeng Aziz berkunjung ke Royal. Caleg Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu datang bersama lima anak buahnya. Royal pun geger. Gosipnya, Daeng Aziz ingin mengambil jatah pengelolaan parkir di kawasan Royal. “Ya, silakan. Kalau benar, nanti benturan sama Satpol PP, ha-ha-ha...,” Bagas menanggapi enteng.

Bagas memperkirakan kekuatan finansial Daeng Aziz dari hasil berbisnis remang-remang masih cukup besar untuk logistik nyaleg. Selain itu, kabarnya, Daeng Aziz juga menjadi kontraktor bangunan di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang, Banten. Kepada media, Daeng Aziz memang pernah mengatakan tinggal di kawasan elite BSD sejak 1997.


Daeng Aziz sendiri belum bisa dimintai konfirmasi mengenai kelanjutan bisnisnya tersebut. Muncul ke publik saat mendaftar ke KPUD Sulsel, Jalan Andi Pettarani, Makassar, pada Selasa, 17 Juli 2018, Daeng Aziz hanya sedikit bicara tentang agendanya hari itu. Daeng Aziz memberikan nomor telepon adiknya, Supriyadi, tapi hingga sekarang tidak bisa dihubungi.




0 komentar:

Posting Komentar